03/09/12
19/08/12
Hubungan Evolusi Manusia dengan Perubahan Iklim
Minggu, 29 Juli 2012
- Mark Collard, seorang profesor arkeologi daru Universitas Simon
Fraser akan membahas tentang dampak perubahan iklim pada evolusi manusia
pada science fair terbesar di dunia.
Konferensi
American Association for the Advancement of Science (AAAS) 2012
berjalan tanggal 16 hingga 20 Februari di Vancouver Convention Centre.
Collard akan memberi ceramah berjudul Environmental drivers of technological evolution in small-scale populations pada seminar berjudul Climate Change and Human Evolution: Problems and Prospects.
Collard
berpendapat, “kita perlu lebih memahami jalan iklim dan variabel
lingkungan terkait berpengaruh pada masyarakat berskala kecil yang ada
dalam sejarah sebelum kita dapat secara akurat melacak pengaruh
perubahan iklim pada evolusi manusia.”
Sebagai
direktur program Human Evolutionary Studies SFU, Collard juga
menyajikan data yang dianalisis tim penelitiannya. Penelitian mereka
menunjukkan variasi lingkungan secara signifikan mempengaruhi jumlah dan
variasi alat pengumpul makanan yang dibuat para pemburu pengumpul.
“Pola
dasarnya,” jelas Collard, “adalah orang yang hidup dalam lingkungan
keras dan beresiko, seperti di Artik, menghasilkan dan memakai banyak
alat yang lebih kompleks daripada orang yang hidup di lingkungan yang
kurang keras dan kurang beresiko seperti hutan rimba tropis. Alat
pengumpul makanan menyusun sejumlah besar catatan arkeologi awal. Jadi
temuan kami memberi kita jalan melacak dampak perubahan iklim pada
evolusi manusia.”
Collard dapat menghubungkan temuannya dengan pemikiran sekarang mengenai dampak perubahan iklim pada penyebaran manusia modern
secara global dan evolusi kebudayaan mereka pada beberapa ratus ribu
tahun terakhir. Spesies kita, Homo sapiens, berevolusi dalam periode
waktu tersebut.
Sebagai peserta diskusi dalam seminar lain, Constructing a Human World Fit for Nature,
Collard akan mencari tema umum dalam presentasi keenam pembicara.
Mereka akan mengkaji penelitian dibalik konundrum evolusioner yang
menjadi tema pusat seminar ini.
Konundrumnya
– sementara evolusi memungkinkan manusia purba beradaptasi dengan baik
pada beragam niche ekologi, manusia modern sekarang mengubah ekosistem
lokal dan iklim global dalam eksistensi mereka.
Sumber berita:
Burung yang Hidup Dalam Berbagai Cuaca Menyanyikan Lagu yang Lebih bervariasi
Jumat, 17 Agustus 2012
- Sebuah studi terbaru pada burung penyanyi Amerika utara mengungkapkan
kalau burung yang hidup dalam cuaca yang bergejolak merupakan penyanyi
yang lebih fleksibel.
Pencampuran
membantu burung memastikan kalau lagu mereka didengar tidak peduli apa
habitatnya, kata para peneliti dari Australian National University dan
National Evolutionary Synthesis Center.
Untung
menguji gagasan ini, para peneliti menganalisis lagu yang direkam dari
lebih dari 400 burung jantan dalam 44 spesies burung penyanyi amerika
utara – sebuah set data yang mencakup oriole, blackbird, warbler,
layang-layang, kardinal, finch, chickade, dan thrush.
Mereka
memakai software komputer untuk mengubah setiap rekaman suara – sebuah
medley dari siulan, nyanyian, cheep, chirp, trill, dan twitter – menjadi
sebuah spektrogram, atau grafik suara. Seperti skor musik, pola
kompleks garis dan tajam dalam spektrogram memungkinkan para ilmuan
melihat dan menganalisis secara visual setiap suara.
Untuk
setiap burung dalam data set mereka, mereka mengukur karakteristik
suara seperti panjang, nada tertinggi dan terendah, jumlah not, dan
spasi diantaranya.
Ketika mereka
mengkombinasikan data ini dengan rekaman suhu dan presipitasi serta
informasi lain seperti habitat dan lintang, mereka menemukan pola
mengejutkan – jantan yang mengalami lebih banyak ayunan musim antara
kering dan basah menyanyikan lagu yang lebih beraneka ragam.
“Mereka
dapat menyanyikan not tertentu sangat rendah atau sangat tinggi atau
mereka dapat menyetel kenyaringan atau temponya,” kata peneliti Clinton
Francis dari National Evolutionary Synthesis Center.
Pyrrhuloxia
atau kardinal gurun dari barat daya Amerika dan Meksiko utara dan
goldfinch Lawrence dari Kalifornia adalah dua contoh.
Selain
variasi dalam cuaca di segala musim, para peneliti juga melihat variasi
geografi dan menemukan pola yang sama. Spesies yang mengalami lebih
banyak perbedaan curah hujan dari satu lokasi ke lokasi lain dalam
jangkauan menyanyinya menyanyikan nada yang lebih kompleks. Finch rumah
dan plumbeous vireos merupakan dua contoh, kata Francis.
Mengapa seperti ini?
“Presipitasi
dekat kaitannya dengan seberapa lebatnya habitat tersebut,” kata
peneliti Iliana Medina dari Australian National University. Mengubah
vegetasi berarti mengubah kondisi akustik.
“Suara
dipancarkan berbeda lewat tipe vegetasi berbeda,” jelas Francis.
“Sering ketika burung tiba ke tanah pembiakan mereka di musim semi,
misalnya, sulit ditemukan daun di pohon. Sepanjang hanya beberapa
minggu, transmisi suara berubah drastis seiring tumbuhnya dedaunan.”
“Burung
yang lebih fleksibel dalam suaranya lebih mampu mengatasi berbagai
lingkungan akustik yang mereka alami sepanjang tahun,” tambah Medina.
Tim
terpisah melaporkan hubungan yang sama antara lingkungan dan nyanyian
burung pada mockingbird di tahun 2009, namun ini adalah studi pertama
menunjukkan kalau pola tersebut terjadi pada lusinan spesies.
Menariknya,
Francis dan Medina menemukan kalau spesies dengan perbedaan warna
mencolok antara jantan dan betina juga menyanyikan lagu yang lebih
variatif, yang artinya variasi lingkungan bukan satu-satunya faktor,
kata para peneliti.
Sumber berita:
Referensi jurnal:
I. Medina, C. D. Francis. Environmental variability and acoustic signals: a multi-level approach in songbirds. Biology Letters, 2012; DOI: 10.1098/rsbl.2012.0522
29/06/12
OSMOSIS
Asslm. Wr.Wb. para pembaca yang budiman kali ini sya memberikan informasi mengenai penutun praktikum Biologi mengenai OSMOSIS. Mudah-mudahan informasi ini dapat berguna bagi kita semua. Amin...Blog ini sangat sederhana harapan, saya saran dan masukan dari rekan-rekan sangat say harapkan untuk kemajuan blok ini ke depan...UNTUK ITU mohon diisi komentarnya....
Sedangkan perendaman pada aquades, tekstur kentang menjadi keras dan beratnya bertambah.
Ingat konsep ini: osmosis adalah perpindahan air, dari larutan hipotonis ke larutan hipertonis melalui membran semipermeabel.
Saat kentang direndam dalam larutan gula 30% dan 5% akan terjadi perpindahan air secara osmosis dari sel-sel kentang keluar menuju ke larutan. Perpindahan air ini terjadi karena sel-sel kentang hipotonis terhadap larutan gula yang hipertonis. Lihat gambar berikut.
Untuk kentang yang direndam dalam aquades, peristiwa
yang berkebalikan terjadi. Air dari larutan masuk ke dalam sel-sel kentang,
karena sel-sel kentang hipertonis dibandingkan air. Akibat masuknya air ini
menyebabkan isi sel bertambah, dan sel dalam keadaan turgid (tekanan turgor
tinggi). Inilah yang menyebabkan kentang menjadi keras dan beratnya bertambah.
OSMOSIS
Alat dan Bahan
- Pisau
- Tissue
- Gelas ukur 50 ml
- Stopwatch
- Neraca
- Kentang
- Aquades
- Larutan glukosa 30%
- Larutan glukosa 5%
Cara Kerja
- Bersihkan kentang mentah dari kulitnya.
- Potong kentang dengan ukuran 2 × 1 cm sebanyak 3 potong. Usahakan potongan kentang tersebut memiliki berat yang sama. Saat mengupas kentang dan memotongnya upayakan jangan sampai terkena air atau cairan apa pun.
- Siapkan larutan gula 30 % dan 5 % masing-masing dalam gelas ukur dengan volume sekitar 20 mL.
- Masukkan potongan kentang secara bersamaan ke masing-masing gelas ukur yang telah diberi tanda A (larutan glukosa 30%), gelas ukur B (larutan glukosa 5%), dan gelas ukur C berisi aquades.
- Biarkan potongan kentang tersebut terendam selama 20 menit.
- Setelah 20 menit angkatlah kemudian simpan di atas tissue. Dan periksa keadaan kentang tersebut, kemudian timbang ulang kentang tersebut dan catat hasilnya.
Hasil Pengamatan
LARUTAN
|
SEBELUM
|
SESUDAH
|
KEADAAN
|
|
A
|
GULA 30%
|
1 GR
|
0,2 GR
|
LEMBEK
|
B
|
GULA 5%
|
1 GR
|
0,4 GR
|
AGAK LEMBEK
|
C
|
AQUADES
|
1 GR
|
1,2 GR
|
KERAS
|
Pembahasan
Perhatikan berat kentang semula sebelum direndam, semua sama 1 gr. Setelah perendaman pada larutan gula 5% tekstur kentang agak lembek, sedangkan perendaman pada larutan gula 30% kondisinya lebih lembek. Tetapi keduanya menunjukkan pengurangan berat.Sedangkan perendaman pada aquades, tekstur kentang menjadi keras dan beratnya bertambah.
Kiri: kentang menjadi lembek setelah direndam dalam larutan glukosa. Kanan : kentang mengeras setelah direndam aquades.
Bagaimana penjelasannya?Ingat konsep ini: osmosis adalah perpindahan air, dari larutan hipotonis ke larutan hipertonis melalui membran semipermeabel.
Saat kentang direndam dalam larutan gula 30% dan 5% akan terjadi perpindahan air secara osmosis dari sel-sel kentang keluar menuju ke larutan. Perpindahan air ini terjadi karena sel-sel kentang hipotonis terhadap larutan gula yang hipertonis. Lihat gambar berikut.
Perhatikan apa yang terjadi jika sel hewan dan sel tumbuhan direndam dalam larutan hipertonis atau hipotonis.
Peristiwa ini berakibat pada dua hal:
- Sel-sel kentang kekurangan air (isi sel), akibatnya terjadi plasmolisis yang mengakibatkan penurununan tekanan turgor. Jika tekanan turgor menurun akibatnya kentang menjadi empuk dan lembek
- Terjadi penurunan berat kentang akibat perpindahan air dari sel-sel kentang ke larutan.
- Kelunakan kentang dan pengurangan berat bergantung pada konsentrasi larutan. Semakin hipertonis larutannya, maka semakin lembek kentangnya, juga semakin banyak pengurangan beratnya.
Beginilah bentuk sel yang mengalami plasmolisis. Perhatikan rongga yang
terbentuk di antara membran sel dengan dinding sel.
Untuk kentang yang direndam dalam aquades, peristiwa
yang berkebalikan terjadi. Air dari larutan masuk ke dalam sel-sel kentang,
karena sel-sel kentang hipertonis dibandingkan air. Akibat masuknya air ini
menyebabkan isi sel bertambah, dan sel dalam keadaan turgid (tekanan turgor
tinggi). Inilah yang menyebabkan kentang menjadi keras dan beratnya bertambah.
Langganan:
Postingan (Atom)