Kamis, 7 Juni 2012
- "Punahnya spesies liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia
dan bisa membahayakan masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem
yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia."
Dua puluh tahun setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, 17 ahli ekologi terkemuka menyerukan upaya internasional untuk menekan hilangnya keanekaragaman hayati, yang mengorbankan kemampuan alam untuk menyediakan barang dan jasa yang penting bagi kesejahteraan manusia.
Selama dua dekade terakhir, bukti ilmiah yang kuat telah menunjukkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati di dunia mengurangi produktivitas dan keberlanjutan ekosistem alam serta mengurangi kemampuannya dalam menyediakan barang dan jasa seperti makanan, kayu, pakan ternak, tanah subur, serta perlindungan dari hama dan penyakit, demikian menurut tim internasional yang dipimpin ahli ekologi Bradley Cardinale dari University Michigan.
Tindakan-tindakan manusia telah memporak-porandakan ekosistem alam di bumi, mengakibatkan kepunahan spesies dalam tingkat beberapa kali lipat lebih cepat dari yang pernah teramati dalam catatan fosil. Meskipun demikian, masih ada waktu – jika negara-negara di dunia membuat prioritas internasional pelestarian keanekaragaman hayati – untuk menyelamatkan berbagai spesies yang masih hidup dan untuk mengembalikan sebagian dari apa yang telah hilang, demikian menurut Cardinale dan rekan-rekannya.
Para peneliti mempresentasikan temuan mereka pada jurnal Nature edisi 7 Juni, dalam sebuah artikel berjudul “Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Dampaknya terhadap Kemanusiaan.” Makalah ini merupakan pernyataan konsensus ilmiah yang merangkum bukti-bukti dari 1.000 lebih studi ekologi selama dua dekade terakhir.
“Seperti halnya pernyataan konsensus dari para dokter dengan peringatan publiknya tentang bahaya penggunaan tembakau bagi kesehatan, ini adalah pernyataan konsensus dari para ahli yang sepakat bahwa punahnya spesies liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia dan bisa membahayakan masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia,” kata Cardinale, seorang profesor di Sekolah Sumber Daya Alam dan Lingkungan serta di Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner UM.
“Kita harus menanggapi hilangnya keanekaragaman hayati dengan jauh lebih serius – dari individu-individu hingga badan-badan internasional – dan mengambil tindakan yang lebih besar untuk mencegah kepunahan spesies lebih lanjut,” kata Cardinale, penulis pertama dalam makalah Nature.
Diperkirakan ada sekitar 9 juta spesies tumbuhan, hewan, protista dan jamur yang menghuni bumi, berbagi dengan sekitar 7 miliar manusia.
Himbauan untuk bertindak diserukan di saat-saat para pemimpin internasional mempersiapkan diri untuk berkumpul di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni untuk menghadiri Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan, yang dikenal sebagai Konferensi Rio +20. Konferensi mendatang ini menandai 20 Tahun KTT Bumi 1992 di Rio yang menghasilkan dukungan dari 193 negara terhadap tujuan-tujuan Konvensi pada Keanekaragaman Hayati berupa konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
KTT Bumi 1992 yang didorong oleh besarnya minat untuk memahami tentang hilangnya keanekaragaman hayati mungkin berdampak pada dinamika dan pemfungsian ekosistem, begitu pula pada penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi masyarakat. Dalam makalah Nature, Cardinale dan para kolega meninjau studi-studi terkait yang sudah dipublikasikan dan membuat daftar enam pernyataan konsensus, empat kecenderungan yang muncul serta empat pernyataan “keseimbangan bukti”.
Keseimbangan bukti menunjukkan, misalnya, bahwa keragaman genetik meningkatkan hasil panen tanaman komersial, meningkatkan produksi kayu di hutan, meningkatkan produksi pakan ternak di padang rumput, serta meningkatkan stabilitas hasil panen pada perikanan. Meningkatnya keanekaragaman tumbuhan juga menghasilkan resistensi yang lebih besar terhadap invasi, menghambat patogen tanaman seperti infeksi jamur dan virus, meningkatkan penyerapan karbon di di udara melalui penyempurnaan biomassa, serta meningkatkan remineralisasi nutrisi dan bahan organik tanah.
“Tak akan ada yang setuju dengan apa yang akan terjadi jika ekosistem kehilangan spesies, namun kebanyakan dari kita setuju bahwa itu tidak akan menjadi baik. Dan kita setuju bahwa jika ekosistem kehilangan sebagian besar spesiesnya, maka itu akan menjadi bencana,” kata Shahid Naeem dari Universitas Columbia, salah satu penulis pendamping dalam makalah Nature. “Dua puluh tahun dan seribu studi kemudian, apa dipikir benar oleh dunia dalam pertemuan di Rio pada tahun 1992 akhirnya telah terbukti: Keanekaragaman hayati mendasari kemampuan kita untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”
Meskipun terdapat dukungan luas terhadap Konvensi pada Keanekaragaman Hayati, namun hilangnya keanekaragaman hayati terus berlangsung selama dua dekade terakhir, bahkan seringkali dengan tingkat yang menanjak. Sebagai responnya, satu set tujuan baru pelestarian keanekaragaman untuk tahun 2020, yang dikenal sebagai target Aichi, baru-baru telah dirumuskan. Juga, sebuah badan internasional baru yang disebut Panel Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem telah dibentuk pada bulan April 2012 untuk memandu respon global terhadap pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.
Kesenjangan yang signifikan dalam ilmu pengetahuan di balik keanekaragaman hayati masih tetap ada dan harus diatasi apabila target Aichi harus dipenuhi, kata Cardinale dan para kolega dalam makalah Nature.
“Beberapa pertanyaan kunci yang kami uraikan dapat membantu menunjukkan jalan bagi penelitian generasi berikutnya tentang bagaimana perubahan keanekaragaman hayati mempengaruhi kesejahteraan manusia,” kata David Hooper dari Universitas Western Washington, salah satu penulis pendamping studi.
Tanpa adanya pemahaman tentang proses ekologis mendasar yang menghubungkan keanekaragaman hayati, fungsi dan jasa ekosistem, maka upaya untuk meramalkan konsekuensi sosial akibat hilangnya keragaman, dan untuk memenuhi tujuan kebijakan, akan cenderung gagal, demikian menurut 17 ahli ekologi.
“Tapi dengan adanya pemahaman yang mendasar dalam genggaman, kita mungkin bisa membawa era modern hilangnya keanekaragaman hayati ke arah jalur yang aman bagi kemanusiaan,” simpul mereka.
Selain Cardinale, Naeem dan Hooper, penulis pendamping dalam makalah Nature ini adalah J. Emmett Duffy dari The College of William and Mary, Andrew Gonzalez dari Universitas McGill, Charles Perrings dan Ann Kinzig dari Universitas Arizona, Patrick Venail dan Anita Narwani dari Sekolah Sumber Daya Alam dan Lingkungan UM; Georgina Mace dari Imperial College London, David Tilman dari Universitas Minnesota, David Wardle dari Universitas Ilmu Pertanian Swedia; Gretchen Daily dari Universitas Stanford, Michel Loreau dari Pusat Nasional de la Recherche Scientifique di Moulis, Perancis, James Grace dari US Geological Survey; Anne Larigauderie dari Museum Nasional d’Histoire Naturelle di Rue Cuvier, Perancis, serta Diane Srivastava dari Universitas British Columbia.
Penelitian ini memperoleh pendanaan dari National Science Foundation dan dari University of California-Santa Barbara dan negara bagian California.
“Kemurnian air, produksi pangan dan kualitas udara bisa mudah untuk digunakan begitu saja, namun semua itu sebagian besar disediakan oleh komunitas organisme,” kata George Gilchrist, direktur program di Divisi Biologi Lingkungan National Science Foundation, yang mendanai penelitian. “Makalah ini menunjukkan bahwa bukan hanya jumlah makhluk hidup, tetapi juga keanekaragaman hayati spesies, genetik dan sifat mereka yang mempengaruhi ketersediaan berbagai ‘jasa ekosistem’ yang penting.”
Kredit: University of British Columbia
Jurnal: Bradley J. Cardinale, J. Emmett Duffy, Andrew Gonzalez, David U. Hooper, Charles Perrings, Patrick Venail, Anita Narwani, Georgina M. Mace, David Tilman, David A. Wardle, Ann P. Kinzig, Gretchen C. Daily, Michel Loreau, James B. Grace, Anne Larigauderie, Diane S. Srivastava, Shahid Naeem. Biodiversity loss and its impact on humanity. Nature; 486, 59–67 (07 Juni 2012); DOI: 10.1038/nature11148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya..