Rabu, 13 Juni 2012 - Seorang
biologiwan Universitas Indiana menunjukkan kalau variasi alami dalam
ukuran kemampuan otak mengolah hormon steroid meramalkan variasi
fungsional dalam perilaku agresif.
Penelitian
baru ini dipimpin oleh Kimberly A. Rosvall, seorang pasca doktoral dan
ilmuan asisten penelitian di Bloomington College of Arts and Sciences
Jurusan Biologi Universitas
indiana, menemukan hubungan kuat dan signifikan antara perilaku agresif
pada burung hidup bebas dan kelimpahan RNA duta dalam daerah otak yang
relevan secara perilaku untuk tiga molekul pengolah steroid seks utama:
reseptor androgen, reseptor estrogen, dan aromatase.
“Variasi individual adalah bahan baku evolusi,
dan dalam studi ini kami melaporkan kalau burung hidup bebas beraneka
dalam tingkat agresinya dan individu yang semakin agresif menunjukkan
level gen yang lebih tinggi terkait dengan pengolah testosteron di
otak,” katanya. “Kami telah lama berhipotesis kalau kemampuan otak
mengolah steroid bertanggung jawab atas perbedaan individu dalam
perilaku termediasi hormon, namun demonstrasi langsungnya langka,
khususnya dalam hewan hidup bebas yang tidak dimanipulasi.”
Rosvall
mengatakan kalau studinya menunjukkan kalau agresi diramalkan dengan
kuat oleh variasi individu dalam ekspresi gen molekul yang memicu efek
genomik testosteron. Penelitian terbaru ini, ”Neural sensitivity to
sex steroids predicts individual differences in aggression: implications
for behavioral evolution,” diterbitkan tanggal 6 Juni dalam Proceedings of The Royal Society B.
Temuan
ini termasuk yang pertama menunjukkan kalau variasi individu dalam
ekspresi gen syaraf untuk tiga molekul pengolah steroid seks meramalkan
variasi individu dalam agresivitas di kedua jenis kelamin di alam, hasil
yang seharusnya berdampak luas untuk pemahaman terhadap mekanisme
evolusi perilaku agresif.
“Di satu
sisi, kita punya banyak bukti untuk mengatakan kalau testosteron adalah
penting dalam evolusi segala jenis sifat,” kata Rosvall. “Di sisi lain,
kita tahu kalau variasi individu adalah syarat untuk seleksi alam,
namun variasi individu dalam testosteron tidak selalu meramalkan
perilaku. Konundrum ini membawa perdebatan pada para peneliti mengenai
bagaimana sifat termediasi hormon berevolusi.”
Berhasil
menemukan hubungan kuat antara perilaku dan variasi individu dalam
ekspresi gen yang berhubungan dengan pengolahan hormon ini menarik
karena memberi tahu para ilmuan kalau evolusi dapat membentuk perilaku
lewat perubahan dalam ekspresi gen-gen ini, serta lewat perubahan dalam
tingkat testosteron itu sendiri.
Tim
ini mengukur variasi alami dalam agresivitas terhadap jenis kelamin yang
sama pada burung junco mata hitam liar betina dan jantan (Junco hyemalis)
di awal musim kawin. Junco mata hitam adalah layang-layang Amerika
Utara yang telah dipelajari dengan baik oleh para ilmuan khususnya dalam
penelitian hormon, perilaku, dan perbedaan jenis kelamin. Dengan
membandingkan perbedaan agresivitas individual (gaya terbang atau suara
kicauan yang diarahkan pada penyusup) dengan tingkat sirkulasi
testosteron dan ekspresi gen syaraf untuk tiga molekul pengolah steroid
seks utama, para peneliti mampu mengkuantifikasi ukuran sensitivitas
pada testosteron dalam daerah otak yang relevan dengan perilaku sosial:
hipotalamus, telencephalon ventromedial, dan telencephalon posterior
kanan.
Hasil mereka menunjukkan
seleksi dapat membentuk evolusi agresi lewat perubahan ekspresi reseptor
androgen, reseptor estrogen, dan aromatase pada jantan dan betina, pada
derajat yang independen dari tingkat sirkulasi testosteron. Mereka
menemukan, misalnya, kalau jantan yang bernyanyi lagu lebih banyak pada
penyusupnya memiliki lebih banyak RNA duta untuk aromatase dan reseptor
estrogen di telencephalon posterior, dan juga kalau jantan dan betina
yang terbang menghujam seekor penyusup lebih sering memiliki lebih
banyak RNA duta reseptor androgen, reseptor estrogen, dan aromatase di
jaringan otak termasuk amigdala medial, sebuah daerah otak yang
diketahui mengendalikan agresi pada pengerat dan burung lain. RNA duta
adalah salinan satu untai gen yang ditranslasi menjadi molekul protein.
Penelitian
ini mengungkapkan kalau ada variasi dalam sinyal hormon dan dalam
ekspresi gen dimana seleksi dapat bertindak mempengaruhi agresivitas. Ia
juga menunjukkan prasyarat untuk evolusi karakteristik termediasi
testosteron lewat perubahan dalam ekspresi gen lokal untuk molekul kunci
yang mengolah steroid seks, dan menunjukkan kalau evolusi sifat dapat
terjadi dalam derajat kebebasan tertentu dari tingkat testosteron yang
bersirkulasi.
“Para peneliti berpikir
kalau ini mungkin kasusnya untuk seratus tahun, berdasarkan banyak
penelitian sangat penting yang menggunakan manipulasi eksperimental
seperti pengebirian atau penggantian hormon,” kata Rosvall. “Namun
sangat sedikit orang melihat apakah individu sesungguhnya memang
bervariasi dalam gen-gen ini, dan apakah variasi individu ini ada
maknanya, dalam perilaku suatu hewan. Penelitian kami menunjukkan kalau
itu memang ada maknanya.”
Pandangan
baru mengenai mekanisme neuroendokrin agresi dapat dimodifikasi saat
populasi berdiversi menjadi spesies juga menawarkan kesempatan untuk
penelitian lebih lanjut, termasuk mencoba menentukan apakah gen yang
diatur naik atau turun dalam respon terhadap rangsangan lingkungan
merupakan gen yang sama yang berkontribusi pada evolusi sifat dan
karakter tertentu.
Pengarang lain
makalah ini dengan Rosvall adalah kandidat Ph.D biologi Christine M.
Bergeon Burns, profesor biologi J.L. Goodson, profesor jurusan ilmu otak
dan psikologi Dale Sengelaub, dan profesor luar biasa biologi dan
studi gender Ellen D. Ketterson, semua dari universitas Indiana, dan
kandidat Ph.D Julia Barske serta professor Barney A. Schlinger dari
Universitas California Los Angeles. Penelitian ini didanai oleh
National Institutes of Health, Indiana Academy of Sciences, dan
National Science Foundation.
Sumber berita:
Referensi jurnal:
K. A. Rosvall, C. M. Bergeon Burns, J. Barske, J. L. Goodson, B. A. Schlinger, D. R. Sengelaub, and E. D. Ketterson. Neural sensitivity to sex steroids predicts individual differences in aggression: implications for behavioural evolution. Proc. R. Soc. B, June 6, 2012 DOI: 10.1098/rspb.2012.0442
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya..