15/06/12

Variasi Ekspresi Gen Steroid Seks dapat Meramalkan Perilaku Agresif

Rabu, 13 Juni 2012 - Seorang biologiwan Universitas Indiana menunjukkan kalau variasi alami dalam ukuran kemampuan otak mengolah hormon steroid meramalkan variasi fungsional dalam perilaku agresif.

 Penelitian baru ini dipimpin oleh  Kimberly A. Rosvall, seorang pasca doktoral dan ilmuan asisten penelitian di   Bloomington College of Arts and Sciences Jurusan Biologi Universitas indiana, menemukan hubungan kuat dan signifikan antara perilaku agresif pada burung hidup bebas dan kelimpahan RNA duta dalam daerah otak yang relevan secara perilaku untuk tiga molekul pengolah steroid seks utama: reseptor androgen, reseptor estrogen, dan aromatase.
 “Variasi individual adalah bahan baku evolusi, dan dalam studi ini kami melaporkan kalau burung hidup bebas beraneka dalam tingkat agresinya dan individu yang semakin agresif menunjukkan level gen yang lebih tinggi terkait dengan pengolah testosteron di otak,” katanya. “Kami telah lama berhipotesis kalau kemampuan otak mengolah steroid bertanggung jawab atas perbedaan individu dalam perilaku termediasi hormon, namun demonstrasi langsungnya langka, khususnya dalam hewan hidup bebas yang tidak dimanipulasi.”
 Rosvall mengatakan kalau studinya menunjukkan kalau agresi diramalkan dengan kuat oleh variasi individu dalam ekspresi gen molekul yang memicu efek genomik testosteron. Penelitian terbaru ini,   ”Neural sensitivity to sex steroids predicts individual differences in aggression: implications for behavioral evolution,” diterbitkan tanggal 6 Juni dalam Proceedings of The Royal Society B.
Temuan ini termasuk yang pertama menunjukkan kalau variasi individu dalam ekspresi gen syaraf untuk tiga molekul pengolah steroid seks meramalkan variasi individu dalam agresivitas di kedua jenis kelamin di alam, hasil yang seharusnya berdampak luas untuk pemahaman terhadap mekanisme evolusi perilaku agresif.
 “Di satu sisi, kita punya banyak bukti untuk mengatakan kalau testosteron adalah penting dalam evolusi segala jenis sifat,” kata Rosvall. “Di sisi lain, kita tahu kalau variasi individu adalah syarat untuk seleksi alam, namun variasi individu dalam testosteron tidak selalu meramalkan perilaku. Konundrum ini membawa perdebatan pada para peneliti mengenai bagaimana sifat termediasi hormon berevolusi.”
 Berhasil menemukan hubungan kuat antara perilaku dan variasi individu dalam ekspresi gen yang berhubungan dengan pengolahan hormon ini menarik karena memberi tahu para ilmuan kalau evolusi dapat membentuk perilaku lewat perubahan dalam ekspresi gen-gen ini, serta lewat perubahan dalam tingkat testosteron itu sendiri.
 Tim ini mengukur variasi alami dalam agresivitas terhadap jenis kelamin yang sama pada burung junco mata hitam liar betina dan jantan  (Junco hyemalis) di awal musim kawin. Junco mata hitam adalah layang-layang Amerika Utara yang telah dipelajari dengan baik oleh para ilmuan khususnya dalam penelitian hormon, perilaku, dan perbedaan jenis kelamin. Dengan membandingkan perbedaan agresivitas individual (gaya terbang atau suara kicauan yang diarahkan pada penyusup) dengan tingkat sirkulasi testosteron dan ekspresi gen syaraf untuk tiga molekul pengolah steroid seks utama, para peneliti mampu mengkuantifikasi ukuran sensitivitas pada testosteron dalam daerah otak yang relevan dengan perilaku sosial: hipotalamus, telencephalon ventromedial, dan telencephalon posterior kanan.
 Hasil mereka menunjukkan seleksi dapat membentuk evolusi agresi lewat perubahan ekspresi reseptor androgen, reseptor estrogen, dan aromatase pada jantan dan betina, pada derajat yang independen dari tingkat sirkulasi testosteron. Mereka menemukan, misalnya, kalau jantan yang bernyanyi lagu lebih banyak pada penyusupnya memiliki lebih banyak RNA duta untuk aromatase dan reseptor estrogen di telencephalon posterior, dan juga kalau jantan dan betina yang terbang menghujam seekor penyusup lebih sering memiliki lebih banyak RNA duta reseptor androgen, reseptor estrogen, dan aromatase di jaringan otak termasuk amigdala medial, sebuah daerah otak yang diketahui mengendalikan agresi pada pengerat dan burung lain. RNA duta adalah salinan satu untai gen yang ditranslasi menjadi molekul protein.
 Penelitian ini mengungkapkan kalau ada variasi dalam sinyal hormon dan dalam ekspresi gen dimana seleksi dapat bertindak mempengaruhi agresivitas. Ia juga menunjukkan prasyarat untuk evolusi karakteristik termediasi testosteron lewat perubahan dalam ekspresi gen lokal untuk molekul kunci yang mengolah steroid seks, dan menunjukkan kalau evolusi sifat dapat terjadi dalam derajat kebebasan tertentu dari tingkat testosteron yang bersirkulasi.
 “Para peneliti berpikir kalau ini mungkin kasusnya untuk seratus tahun, berdasarkan banyak penelitian sangat penting yang menggunakan manipulasi eksperimental seperti pengebirian atau penggantian hormon,” kata Rosvall. “Namun sangat sedikit orang melihat apakah individu sesungguhnya memang bervariasi dalam gen-gen ini, dan apakah variasi individu ini ada maknanya, dalam perilaku suatu hewan. Penelitian kami menunjukkan kalau itu memang ada maknanya.”
 Pandangan baru mengenai mekanisme neuroendokrin agresi dapat dimodifikasi saat populasi berdiversi menjadi spesies juga menawarkan kesempatan untuk penelitian lebih lanjut, termasuk mencoba menentukan apakah gen yang diatur naik atau turun dalam respon terhadap rangsangan lingkungan merupakan gen yang sama yang berkontribusi pada evolusi sifat dan karakter tertentu.
Pengarang lain makalah ini dengan Rosvall adalah kandidat Ph.D biologi Christine M. Bergeon Burns, profesor biologi J.L. Goodson, profesor jurusan ilmu otak dan psikologi  Dale Sengelaub, dan profesor luar biasa biologi dan studi gender   Ellen D. Ketterson, semua dari universitas Indiana, dan kandidat Ph.D   Julia Barske serta professor Barney A. Schlinger dari Universitas California Los Angeles. Penelitian ini didanai oleh   National Institutes of Health, Indiana Academy of Sciences, dan National Science Foundation.
Sumber berita:
Referensi jurnal:
K. A. Rosvall, C. M. Bergeon Burns, J. Barske, J. L. Goodson, B. A. Schlinger, D. R. Sengelaub, and E. D. Ketterson. Neural sensitivity to sex steroids predicts individual differences in aggression: implications for behavioural evolution. Proc. R. Soc. B, June 6, 2012 DOI: 10.1098/rspb.2012.0442

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon masukannya..